Manusia Purba Itu Kawini Manusia Modern
https://topaktual.blogspot.com/2010/12/manusia-purba-itu-kawini-manusia-modern.html
Manusia Purba Itu Kawini Manusia Modern - Dalam publikasinya di Jurnal Nature, Selasa (21/12/2010), tim peneliti dari Max Planck Institut for Evolutionary Anthropology (MPI EVA) yang dipimpin Svante Paabo menyimpulkan bahwa fosil manusia purba yang ditemukan di Siberia adalah spesies baru. Mereka memastikan perbedaan dengan manusia purba lainnya setelah berhasil menganalisis 70 persen dari DNA inti fosil tulang dan jari yang ditemukan di Gua Denisova.
Tak hanya mengungkap fakta bahwa manusia kini memiliki "saudara" baru, peneliti juga mengungkapkan fakta mengejutkan lainnya. Denisovans, si manusia purba jenis baru itu, ternyata pernah melanglang buana hingga Asia dan melakukan aktivitas perkawinan dengan manusia modern di wilayah Melanesia yang selama ini menyebar di Papua Niugini dan sekitar wilayah Pasifik lainnya.
Hal itu diketahui setelah peneliti membandingkan DNA Denisovans dengan manusia modern. Peneliti mengatakan, sebanyak 4-6 persen DNA orang Melanesia memiliki kesamaan dengan DNA Denisovans. "Kami kira ini adalah kesalahan pada awalnya, tapi ternyata ini nyata," kata David Reich dari Harvard University yang terlibat penelitian ini.
Dengan hasil penelitian ini, orang-orang Melanesia dikatakan memiliki materi genetik kuno yang berasal dari dua manusia purba, Neanderthals dan Denisovans. Sebelumnya, telah ada penelitian yang mengungkapkan bahwa semua manusia non-Afrika memiliki DNA dari Neanderthals, konsekuensi dari menyebarnya populasi Neanderthals di masa lalu.
Skenario para ilmuwan mengatakan, Neanderthals dan Denisovans berasal dari satu moyang di Afrika. Setelah terpisah tetapi sebelum menyebar ke Asia dan Eropa, Neanderthals berinteraksi dan kawin dengan manusia modern. Alhasil, seluruh manusia modern non-Afrika memiliki materi genetik dari Neanderthals.
Sementara itu, Denisovans menyebar ke timur setelah terpisah menjadi spesies sendiri. Mereka bertemu dengan kelompok manusia modern yang bergerak ke arah Melanesia lebih kurang 45.000 tahun yang lalu. Akhirnya, kedua jenis manusia itu pun berinteraksi dan kawin, menghasilkan perpaduan materi genetik keduanya yang kini terdeteksi dalam penelitian ini.
Meski demikian, para peneliti tidak menyatakan bahwa Denisovans menyebar sampai Melanesia. "Yang kami katakan adalah, Denisovans kawin dengan moyang Melanesia. Kemudian, populasi moyang Melanesia yang sudah kawin dengan Denisovans itu bergerak ke arah Melanesia dan Papua Niugini," kata Bence Viola, salah satu antropolog dari MPI EVA.
Menurut pendapat Reich, interaksi antara Denisovans dan manusia modern mungkin lebih dari yang diperkirakan. "Mereka pasti tersebar luas di Asia," kata Reich. Penelitian genetika populasi pada orang-orang di Asia Minor, menurut Reich, bisa memberi petunjuk mengenai persebaran dan interaksi Denisovans.
Rick Potts, ilmuwan dari Smithsonian Institution yang tak terlibat penelitian, mengatakan, hasil penelitian bisa saja tidak merujuk pada perpaduan genetik Denisovans dan manusia modern. Menurutnya, bisa saja materi genetik yang ada pada orang Melanesia adalah materi genetik kuno yang dipertahankan dan sudah hilang di populasi manusia lain.
Namun, Potts tidak memiliki penjelasan lain dari fenomena tersebut. Ia hanya mengatakan, "Saya sangat terkesan dengan publikasi ini. Artikel itu bisa mengajak kita menerawang jauh dan merenungkan. Dan, ini adalah hasil ilmu pengetahuan yang baik.
Tak hanya mengungkap fakta bahwa manusia kini memiliki "saudara" baru, peneliti juga mengungkapkan fakta mengejutkan lainnya. Denisovans, si manusia purba jenis baru itu, ternyata pernah melanglang buana hingga Asia dan melakukan aktivitas perkawinan dengan manusia modern di wilayah Melanesia yang selama ini menyebar di Papua Niugini dan sekitar wilayah Pasifik lainnya.
Hal itu diketahui setelah peneliti membandingkan DNA Denisovans dengan manusia modern. Peneliti mengatakan, sebanyak 4-6 persen DNA orang Melanesia memiliki kesamaan dengan DNA Denisovans. "Kami kira ini adalah kesalahan pada awalnya, tapi ternyata ini nyata," kata David Reich dari Harvard University yang terlibat penelitian ini.
Dengan hasil penelitian ini, orang-orang Melanesia dikatakan memiliki materi genetik kuno yang berasal dari dua manusia purba, Neanderthals dan Denisovans. Sebelumnya, telah ada penelitian yang mengungkapkan bahwa semua manusia non-Afrika memiliki DNA dari Neanderthals, konsekuensi dari menyebarnya populasi Neanderthals di masa lalu.
Skenario para ilmuwan mengatakan, Neanderthals dan Denisovans berasal dari satu moyang di Afrika. Setelah terpisah tetapi sebelum menyebar ke Asia dan Eropa, Neanderthals berinteraksi dan kawin dengan manusia modern. Alhasil, seluruh manusia modern non-Afrika memiliki materi genetik dari Neanderthals.
Sementara itu, Denisovans menyebar ke timur setelah terpisah menjadi spesies sendiri. Mereka bertemu dengan kelompok manusia modern yang bergerak ke arah Melanesia lebih kurang 45.000 tahun yang lalu. Akhirnya, kedua jenis manusia itu pun berinteraksi dan kawin, menghasilkan perpaduan materi genetik keduanya yang kini terdeteksi dalam penelitian ini.
Meski demikian, para peneliti tidak menyatakan bahwa Denisovans menyebar sampai Melanesia. "Yang kami katakan adalah, Denisovans kawin dengan moyang Melanesia. Kemudian, populasi moyang Melanesia yang sudah kawin dengan Denisovans itu bergerak ke arah Melanesia dan Papua Niugini," kata Bence Viola, salah satu antropolog dari MPI EVA.
Menurut pendapat Reich, interaksi antara Denisovans dan manusia modern mungkin lebih dari yang diperkirakan. "Mereka pasti tersebar luas di Asia," kata Reich. Penelitian genetika populasi pada orang-orang di Asia Minor, menurut Reich, bisa memberi petunjuk mengenai persebaran dan interaksi Denisovans.
Rick Potts, ilmuwan dari Smithsonian Institution yang tak terlibat penelitian, mengatakan, hasil penelitian bisa saja tidak merujuk pada perpaduan genetik Denisovans dan manusia modern. Menurutnya, bisa saja materi genetik yang ada pada orang Melanesia adalah materi genetik kuno yang dipertahankan dan sudah hilang di populasi manusia lain.
Namun, Potts tidak memiliki penjelasan lain dari fenomena tersebut. Ia hanya mengatakan, "Saya sangat terkesan dengan publikasi ini. Artikel itu bisa mengajak kita menerawang jauh dan merenungkan. Dan, ini adalah hasil ilmu pengetahuan yang baik.